Selasa, 19 April 2011

Materi Pkn Kelas XII

DEFINISI FALSAFAH


Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

FILSAFAT PANCASILA

Pancasila adalah suatu sistem nilai yang merupakan kristalisasi nilai-nilai dari sari-sari kebudayaan bangsa sepanjang sejarah telah menjamin keselarasan dan kesejahteraan antar warga masyarakat. Kenyataan ini tampak dalam sikap hidup yang mengutamakan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan interaksi yang baik pada lingkungan.

Adapun alasan Pancasila dianggap sebagai ajaran Filsafat :

1. Secara formal, yurudis konstitusional pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia.

2. Secara material, isi dan inti pancasila adalah nilai Filsafat.

3. Secara praktis, pancasila disebut pandangan hidup bangsa.

4. Secara potensial, nilai-nilai dalam pancasila adalah filsafat Negara RI yang tumbuh dan berkembang untuk menyongsong masa depan nasional.

5. Kewajiaban tiap warga negara untuk menyakini dan mengamalkan serta melestarikan nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara RI.


5 Pokok Ajaran Filsafat

a. Paham Ketuhanan YME,

b. Paham Kemanusiaan dan Kebangsaan,

c. Paham Kerakyatan,

d. Paham Keadilan Sosial,

e. Pokok ajaran sebagai filsafah sosial.


Pengertian filsafah menurut Hasbulloh Bakri mengatakan bahwa Filsafah adalah sejenis pengetahuan uang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya sejauh yang dapat dibaca oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu. Sedangkan menurut Aristoteles, Filsafat adalah pengetahuan mengenai kebenaran yang tergabung di dalamnyametafisika, logika, ekonomi, politik dan estetika.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dalam hal kualitas maupun kuantitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan serta saling melengkapi.


Kedudukan Filsafat :

a. Filsafat sebagai sastra,

b. Filsafat berpersan dalam sosial politik,

c. Filsafat sebagai metologi,

d. Filsafat berfungsi untuk menganalisa bahasa.


Diantara fungsi filsafat antara lain :

a. Memberi kecerdasan berfikir bagi setiap insan serta menyadasarkan bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

b. Di dalam memperoleh pengertian secara mandiri dapatlah kita mengembangkan diri, sehingga tidak hanya mau menerima begitu saja pendapat orang lain.

c. Mewajibkan kita untuk dapat menghargai pendapat orang lain, serta saling memanfaatkan pikiran dengan sesamanya.

d. Memberikan kesinambungan, keserasian yang harmonis dimana antara rohani dan jasmani pribadi dan warga masyarakatnya baik kepentingan dunia maupun akhirat.

e. Dapat memelihara peradaban manusia dalam berfikir, sehingga umat manusia dapat mengamalkan filsafat hudup, tujuan hidup untuk menuju kesejahteran dunia yang dicita-citakan.


Sifat Filsafat :

Sifat filsafat bisa dikatakan relatif, sebab orang lain akan berbeda pandangan melihat dari segi apa sesuatu itu di lihat. Tetapi kebenaran yang mutlak adalah dari sang pencipta (Allah SWT). Karena pemikiran manusia berkembang dan akan terus berbeda pandangan karena semakin meningkat ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sistematika, Cabang-cabang dan Aliran Filsafat


A. Sistematika Filsafat

1. Bidang Ontologi

2. Bidang Epistimologis

a. Empirisme

b. Rasionalisme

3. Bidang Aksiologi


B. Cabang-Cabang Filsafat

Di zaman modern ini salah satu sistematika filsafat yang di pandang baik adalag yang disusun oleh staf redaksi ENSIE (Eerste Nederlandsche Sistematich Ingericchte Encyclopedia) yang mengemukakan pembagian filsafat menjadi sembila macam cabang, yaitu :

1. Metafisika

2. Logika

3. Filsafat Mengenal (Heater)

4. Filsafat Pengetahuan (Wetenchap Leer)

5. Filsafat Alam (Natur Philoshophie)

6. Filsafat Kebudayaan (Cultur Philoshophie)

7. Etika

8. Estetika

9. Antropologi


C. Aliran Filsafat

1. Aliran Materialisme

2. Aliran Idealisme

3. Aliran Realisme

4. Filsafat Islam

a. Ya'qub bin Isaq Alkindi

b. Abu Hamid Muhammad Al Ghozali

c. Abu Al Wahid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rosyid


Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya suatu nilai-nilai yang bersifat sistematik fundamental dan menyeluruh.
Maka sila-sila Pancasila merupakan suatua kesatuan yang bulat dan utuh, hierarkis dan sistematis. Dalam inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

Selain itu Pancasil adalah suatu sistem filsafat, maksudnya yaitu suatu keseluruhan sistem harus memenuhi lima persyaratan sebagai berikut :
1. Merupakan satu kesatuan,
2. Merupakan tata yang konsisten dan koherens, tidak memandang konktradiksi,
3. Ada kaitan antara bagian satu dengan lainnya,
4. Ada kerjasama yang serasi dan seimbang,
5. Segala sesuatunya mengabdi kepada tujuan bersama yaitu tujuan yang satu.

Secara Filosofis, Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistimologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya, misalnya materilisme liberalisme, pragmatisme, idealisme dan paham lain filsafat di dunia.

Pandangan Pancasila sebagai filsafat

TINJAUAN UMUM FILSAFAT PANCASILA
1. Filsafat
Secara etimologis istilah “filsafat” atau bahasa Inggrisnya disebut “philosophi” berasal dari bahasa Yunani “philien” (cinta) dan “sophos” (hikmah/kearifan) atau bisa juga diartikan “cinta kebijaksanaan”. Makna menurut beberapa tokoh filsafat yaitu :
• Socrates : peninjauan dalam diri yang bersifat reflektif atau berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan adil dan bahagia.
• Plato : filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak berubah.
Wawasan filsafat terdiri dari beberapa aspek, yaitu Aspek Ontologi (eksistensi), Epistemologi (Metode/cara), dan Aksikologi (nilai dan estetika). Aliran filsafat juga terbagi atas beberapa sifat yaitu Materialisme (kebendaan), Idealisme / Spiritualisme (ide dan spirit), Realisme (Realitas).
2. Pancasila
Pancasila adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, dundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama dengan UUD 1945. Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam Kitab Tripitaka milik ajaran moral agama Budha yang kemudian ajaran tersebut diadaptasi oleh orang Jawa. Secara etimologis kata Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta yaitu “Panca” (lima) dan “Syila” (Dasar/Sendi). Istilah Pancasila pertama kali digunakan sebagai nama dari 5 unsur dasar negara oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
Secara ringkas Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh.

Landasan Filosofis Pancasila

Landasan Filosofis Pancasila.
Pancasila dikenal sebagai filosofi Negara Indonesia. Nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan sila-sila Pancasila adalah landasan filosofis yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Prof. Mr. Drs. Notonagoro dalam pidato Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 10 November 1955 : “Susunan Pancasila itu adalah suatu kebulatan yang bersifat hierrarchies dan piramidal yang mengakibatkan adanya hubungan organis di antara 5 sila negara kita”. Pernyataan dan pendapatnya tersebut kemudian diterima dan dikukuhkan oleh MPRS dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1960 jo. Ketetapan No. V/MPR/1973. Pernyataan tersebut diperkuat juga oleh Ketetapan MPR No.
XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan demikian, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.
Dengan demikian, landasan Filsafat Pancasila merupakan harmonisasi dari nilai-nilai dan norma-norma utuh yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, yang bertujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh agar menjadi landasan filsafat yang sesuai dengan keperibadian dan cita-cita Bangsa.
Adapun bentuk Filsafat Pancasila sendiri digolongkan sebagai berikut :
- Bersifat religius yang berarti dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia.
- Memiliki arti praktis yang berarti dalam proses pemahamannya tidak sekedar mencari kebenaran dan kebijaksanaan, serta hasrat ingin tahu, tapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life / weltanschaung) agar mencapai kebahagiaan lahir dan bathin, dunia maupun akhirat (Pancasilais).
B. Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa dan Negara Indonesia
1. Filsafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah serta tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjung sebagai pandangan/filsafat hidup. Dalam pergaulan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera (Wellfare State).
2. Filsafat Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah serta pemerintahan negara.
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber hukum yang antara lain sumber hukum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum.
3. Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Keperibadian bangsa tetap berakar dari keperibadian individual dalam masyarakat yang pancasilais serta gagasan-gagasan besar yang tumbuh dan sejalan dengan filsafat Pancasila.
C. Bukti Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Indonesia
Bukti yang menyatakan Falsafah Pancasila digunakan sebagai dasar falsafah Negara Indonesia dapat kita temukan dalam dokumen-dokumen historis dan perundang-undangan negara Indonesia, antara lain :
1. Naskah Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
2. Naskah Politik bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian dijadikan naskah rancangan Pembukaan UUD 1945 (Piagam Jakarta).
3. Naskah Pembukaan UUD Proklamasi 1945, alinea IV.
4. Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1945, alinea IV.
5. Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1950.
6. Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya adalah sebagaimana nilai-nilainya yang bersifat fundamental menjadi suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia, menjadi wadah yang fleksibel bagi faham-faham positif untuk berkembang dan menjadi dasar ketentuan yang menolak faham-faham yang bertentangan seperti Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama, Kolonialisme, Diktatorisme, Kapitalis, dan lain-lain.

SISTEM FILSAFAT DAN AJARAN SISTEM FILSAFAT PANCASILA

SISTEM FILSAFAT
DAN AJARAN SISTEM FILSAFAT PANCASILA

Setiap bangsa mewarisi nilai sosio-budaya (nasional) sebagai bagian dari budaya dan peradaban universal. Pemikiran awal dan fundamental umat manusia berwujud nilai filsafat. Makna istilah ini terbentuk dari bahasa Yunani: filos = friend, love; dan sophia = learning, wisdom. Jadi, filsafat bermakna orang yang bersahabat, dan mencintai ilmu pengetahuan akan bersikap arif bijaksana.
Filsafat bermakna juga sebagai pemikiran fundamental dan monumental manusia untuk mencari kebenaran hakiki (hikmat, kebijaksanaan); karenanya kebenaran ini diakui sebagai nilai kebenaran terbaik, yang dijadikan pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung). Berbagai tokoh filosof dari berbagai bangsa menemukan dan merumuskan sistem filsafat sebagai ajaran terbaik mereka; yang dapat berbeda antar ajaran filosof. Karena itulah berkembang berbagai aliran filsafat: materialisme, idealisme, spiritualisme; realisme…. dan berbagai aliran modern: rasionalisme, humanisme, individualisme, liberalisme-kapitalisme; marxisme-komunisme; sosialisme.

I.     Makna, Sejarah (Perkembangan) Filsafat dan Sistematika Filsafat
            Makna filsafat sebagai pemikiran fundamental dan tertinggi manusia, terutama mencari kebenaran hakiki dan universal; yang dijadikannya pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung), sekaligus sebagai filsafat negara (ideologi negara).
  
A.   Fungsi dan Nilai Filsafat
Mulai purbakala pemikiran filsafat dirintis dan dikembangkan terutama di Tumur Tengah, sekitar 6000 - 1000 sM; juga di India dan Cina sekitar 3000 - 1000 sM. Sedangkan di Eropa (Yunani), baru berkembang sekitar 650 sM; yang diakui sebagai sumber dan fundamen pengembangan ipteks modern.
Pemikiran filsafat di Timur Tengah diakui peradaban sebagai sinergis dengan nilai Ketuhanan-keagamaan; karena semua Nabi dan Rasul yang membawa agama supranatural (agama langit: Yahudi, Kristen dan Islam) semua berpusat di Timur Tengah. Sesungguhnya, ajaran filsafat religious (theisme-religious) di Timur Tengah juga berkembang dari paham filsafat theocratisme dengan berbagai variasi; seperti: kaisar Mesir (Firaun) mengangkat dirinya sebagai Tuhan; sebagaimana juga kaisar Jepang percaya bahwa mereka adalah keturunan Dewa Matahari.
Sedemikian luhur dan fundamental nilai kebenaran sistem filsafat theisme religuious  memancar laksana matahari (moral) peradaban umat manusia; sebagai terlukis dalam skema 1 (berwujud: garis lingkaran yang meliputi/menjangkau semua benua: bangsa-negara di dunia).
Abad demi abad, sampai abad kebangkitan (renaisance) awal abad XVI pemikiran filsafat memuncak, dengan berkembangnya ajaran filsafat: materialisme, sekularisme, atheisme; juga ajaran nihilisme….sampai neo-moralisme berwujud free love, dan free sex. Antar mereka berkompetisi merebut supremasi dan dominasi di dunia mdoern, melalui media: ideologi politik, sistem ekonomi, ipteks dan sistem budaya termasuk kepemimpinan dan management.
            Guna lebih memahami dan menghayati ajaran filsafat Pancasila, secara ringkas hayati uraian dengan pokok-pokok berikut:
selanjutnya Anda baca di http://nabila77.webs.com/materikuliah.htm

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PANCASILA DALAM KONTEKS
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pancasila dalam konteks ketatanegaraan berkaitan dengan keberadaan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara menjadi landasan dalam pengaturan kehidupan bernegara, yang berarti bahwa segala macam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara negara tidak boleh ada yang bertentangan. dengan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara itu dijabarkan dalam ketentuan UUD 1945. Oleh karenanya bicara Pancasila dalam konteks ketatanegaraan tidak lain adalah bicara tentang ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945.
Membahas negara dan ketatanegaraan Indonesia mengharuskan ingatan kita meninjau dan memahami kembali sejarah perumusan dan penetapan Pancasila, Pembukaan UUD, dan UUD 1945 oleh para pendiri atau pembentuk negara Republik Indonesia yaitu PPKI. Pancasila yang rumusannya terdapat di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan telah ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan ditetapkannya Pembukaan dan UUD 1945, rancangannya merupakan buah karya BPUPKI.
Menelusuri proses pembahasan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, maka menyadarkan kita sebagai bangsa bahwa PancasiIa sejak awal kelahirannya dimaksudkan sebagai Philosofische grondslag negara atau Dasar Filsafat Negara atau secara singkat disebut sebagai Dasar Negara negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu jelaslah bahwa negara Indonesia yang hendak didirikan dan dibangun adalah yang dibawahnya terletak dasar falsafah Pancasila. Merupakan konsekuensi logis, bahwa Negara, dan ketatanegaraan Indonesia harus menempatkan Pancasila sebagai asas kerohaniannya, artinya jiwa, semangat dan nilai-nilai Pancasila harus menjadi inti-isi yang menjiwai dan meliputi negara dan kenegaraan Indonesia.
Pancasila tidak dapat dipisahkan keberadaannya dan keber-maknaannya dengan Pembukaan UUD 1945, karena disamping rumusan Pancasila terdapat di dalam Pembukaan, Pancasila bahkan merupakan substansi isi inti dari Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 yang merupakan sumber motivasi, aspirasi, cita hukum dan cita moral dalam kehidupan  kebangsaan Indonesia memuat empat Pokok-pokok Pikiran, yang tidak lain adalah Pancasila. Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan tersebut kemudian dituangkan atau diciptakan oleh Undang-Undang Dasar ke dalam pasal-pasalnya, oleh karena itu pembahasan tentang konsepsi kenegaraan menurut Pancasila tidak lain adalah pembahasan pasal-pasal UUD yang merupakan penjabaran atau implementasi konsepsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia. UUD bagi suatu negara adalah merupakan sumber hukum yang tertinggi dalam negara tersebut sebagai penjabaran konsepsi kehidupan kebangsaannya dalam bernegara di berbagai bidang sesuai dasar filsafat negara yang dianutnya.
A. Undang-Undang Dasar dan Konstitusi
Dalam ketatanegaraan selain istilah Undang-undang Dasar sering digunakan pula istilah konstitusi dalam pengertian yang berbeda atau untuk saling menggantikan. Oleh karena itu, sebelum membahas lebih jauh tentang pengertian Undang-undang Dasar perlu dibahas terlebih dahulu tentang konstitusi, perbedaan dan hubungan konstitusi dengan Undang-undang Dasar.
Secara harfiah, konstitusi dan bahasa Perancis "konstituer" yang berarti membentuk. Dalam kerangka ini diartikan sebagai "pembentuk suatu negara". Dalam bahasa Belanda istilah kostitusi disejajarkan dengan istilah Grondwet, yang mempunyai pengertian suatu undang-undang yang menjadi dasar (Grond) dari segala hukum dalam suatu negara. Di Indonesia dipergunakan istilah Undang-undang Dasar yang disejajarkan dengan istilah Grondwet di negeri Belanda.
Istilah konstitusi dan Undang-undang dasar di Indonesia sering disejajarkan. Hal tersebut nampak ketika menyebutkan Undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Namun dalam kaitannya dengan pembahasan Undang-undang Dasar - khususnya UUD 1945, istilah konstitusi dimaknai dalam arti yang luas (materiil) yang lebih luas dari pada UUD. Konstitusi yang dimaksudkan adalah hukum dasar, baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak tertulis (convensi). Hal tersebut sejalan dengan pembedaan istilah konstitusi oleh Joeniarto (1968:94) yang membedakan konstitusi dalam arti sempit (formil) yaitu tidak lain adalah UUD, sedangkan konstitusi dalam arti luas (materiil) adalah semua aturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, baik yang berderajat hukum ataupun yang berderajat kebiasaan, asal semua itu mengatur atau menentukan ketatanegaraannya.
Dengan demikian konstitusi memuat peraturan pokok yang fundamental mengenai sendi-sendi yang pertama dan utama dalam menegakkan bangun yang disebut "negara".
B. Fungsi UUD atau Konstitusi bagi Negara
Setiap bangsa yang merdeka, membentuk suatu pola kehidupan berkelompok tertentu atau dengan kata lain ada suatu pola yang membentuk (constitute) kehidupan berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok berupa negara, maka pola tersebut disebut konstitusi dan lazimnya dituangkan ke dalam suatu naskah hukum yang merupakan hukum tertinggi atau hukum dasar (Grondnorm) dan sekaligus norma sumber (Urspungnorm) bagi semua hukum yang berlaku, yang kemudian disebut Undang-undang Dasar.
Undang-undang Dasar (UUD 1945) merupakan hukum tertinggi, normadasar dan norma sumber dari semua hukum yang berlaku dalam negara di Indonesia, ia berisikan pola dasar dalam kehidupan bernegara di Indonesia (Padmo Wahyono, 1991).
Negara dengan segala fungsi dan tujuannya berusaha untuk dapat mewujudkannya dengan berbagai cara, oleh karena itu sebagai pengintegrasian dari kekuatan politik, negara mempunyai bermacam- macam sifat; seperti sifat memaksa, memonopoli, dan mencakup semuanya. Dengan sifat memaksanya negara dapat menggunakan kekerasan fisik secara sah untuk ditaatinya keputusan-keputusannya. Walaupun dengan alasan untuk mewujudkan tujuan bersama (tujuan negara atau rakyat), sifat memaksa yang dimiliki oleh negara dapat disalahgunakan ataupun melampaui batas yang mungkin justru menyengsarakan rakyatnya. Untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan itulah konstitusi atau UUD disusun dan ditetapkan. Sri Sumantri dalam Padmo Wahyono (1984:9) menyatakan: Konstitusi (UUD) dalam dirinya berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Pembatasan kekuasaan tersebut terlihat dengan adanya tiga hal dalam setiap konstitusi, yaitu: (1) Menjamin hak asasi manusia atau warga negara; (2) Memuat suatu ketatanegaraan suatu negara yang bersifat mendasar; (3) Mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat mendasar.
C. Undang-Undang Dasar 1945
Naskah UUD 1945 sebelum mengalami amandemen terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Naskah tersebut secara resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 yang terbit tanggal 15 Februari 1946. UUD 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Antara Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasannya merupakan satu kebulatan yang utuh, di mana antara satu bagian dengan bagian yang lain tidak dapat dipisah-pisahkan. Namun sesuai amandemen keempat (ST MPR RI Agustus 2002), yang dimaksud UUD 1945 adalah naskah yang terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal). Hal itu sesuai dengan rumusan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, bahwa: Dengan ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 terdiri alas Pembukaan dan pasal-pasal.
Memahami pasal II Aturan Peralihan tersebut, maka secara yuridis jelas bahwa "Penjelasan" sudah tidak berlaku lagi, dan tidak menjadi bagian dari pengertian UUD 1945. Beberapa hal materi Penjelasan yang bersifat substansial tetapi dipandang menimbulkan kerancuan penafsiran/ pemahaman dan dianggap tidak jelas-tegas melalui amandemen telah dimasukkan sebagai pasal ataupun ayat dalam batang tubuh UUD 1945. Dengan demikian diharapkan beberapa pertimbangan, diantaranya: yang bersifat histori dan belum semua yang urgen telah termuat dalam pasal­pasal UUD, maka keberadaan Penjelasan (khususnya Penjelasan Umum) dirasakan masih "dapat bermanfaat" untuk menjelaskan beberapa hal yang merupakan kandungan, jiwa, dan semangat Pembukaan UUD 1945 maupun sistem kenegaraan dan pemerintahan negara menurut UUD 1945, terutama dan dimensi historis dan akademisnya. Sebagai misal adalah mengenai Pokok-pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan, sifat hubungan Pembukaan dari atau Pokok-pokok Pikiran dengan pasal-pasal UUD 1945 batang tubuhnya, dan lain-lain. Oleh karenanya, dalam beberapa uraian bahasan tentang UUD 1945, pemanfaatan makna, jiwa, dan semangat dari materi penjelasan masih sangat diperlukan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum, maka UUD 1945 adalah mengikat; mengikat pemerintah, lembaga negara dan lembaga masyarakat, juga mengikat setiap warga negara lndonesia di mana saja dan setiap penduduk yang ada di wilayah Negara Indonesia. Sebagai hukum UUD 1945 berisi norma-norma, aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati.
Undang-Undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar. Sebagai hukum dasar maka Undang-Undang dasar itu sendiri merupakan sumber hukum. Setiap produk hukum seperti Undang-Undang peraturan atau keputusan pemerintah, dan juga setiap tindakan kebijaksanaan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumberkan pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat dipertanggungjawabkan pada ketentuan-ketentuan UUD 1945.
Dalam kedudukan yang demikian, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan atau tata tingkatan norma hukum yang berlaku, merupakan hukum yang menempati kedudukan tertinggi. Dalam hubungan ini, Undang- Undang Dasar juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, alat mengecek apakah norma hukum yang lebih rendah yang berlaku itu sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hukum dasar. Ia hanya merupakan sebagian dari hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Di sampingnya masih ada hukum dasar yang lain, ialah hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu menurut Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan "aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraa Negara, meskipun tidak tertulis". Aturan-­aturan semacam ini umumnya disebut "konvensi".
Dengan sendirinya konvensi itu tidak bertentangan dengan ketentuan-­ketentuan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar 1945 bersifat singkat, memuat 73 pasal, ditambah dengan tiga pasal Aturan Peralihan dan dua pasal Aturan Tambahan. Sifat Undang-Undang Dasar yang singkat itu dikarenakan:
1.   Undang-Undang Dasar itu sudah cukup, apabila telah memuat aturan-­aturan pokok saja, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan tugasnya;
2.   Undang-Undang Dasar yang singkat itu menguntungkan bagi negara seperti Indonesia ini, yang masih harus terus berkembang, harus terus hidup secara dinamis, masih terus akan mengalami perubahan- perubahan. Dengan aturan-aturan pokok itu akan merupakan aturan yang luwes, kenyal, tidak akan mudah ketinggalan zaman.
Ini tidak berarti bahwa Undang-Undang Dasar tidak lengkap atau tidak sempurna dan mengabaikan kepastian. Keluwesan atau kekenyalan itu tetap menjamin kejelasan dan kepastian hukum, yang sudah dipenuhi, apabila dengan aturan-aturan pokok itu sudah cukup untuk dapat menyerahkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut sebagai  penyelenggara-an aturan pokok itu dengan hukum dalam tingkat yang lebih rendah, yang lebih mudah membuat dan merubahnya, seperti dengan undang-undang.
Selain itu bahwa semangat para penyelenggara Negara, penyelenggara Undang-Undang Dasar 1945 itulah yang sangat penting. Oleh sebab itulah setiap penyelenggara Negara di samping harus mengetahui teks Undang-undang Dasar 1945, harus juga menghayati semangat Undang-Undang Dasar 1945. Dengan semangat penyelengara yang baik, pelaksanaan dari aturan-­aturan pokok yang tertera dalam Undang-Undang dasar 1945, -meskipun hanya singkat- akan baik dan sesuai dengan maksud ketentuannya.
D. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
1. Makna Pembukaan UUD 1945 bagi Perjuangan Bangsa Indonesia
Apabila Undang-Undang Dasar itu merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang berlaku di Indonesia, maka Pembukaan Undang­-Undang Dasar 1945 merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia, yang merupakan sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan nasional, maupun dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di Dunia. Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan khidmad dalam (4) alinea itu, setiap alinea dan kata-katanya mengandung arti dan makna yang sangat dalam, mempunyai nilai-nilai yang universal dan lestari. Universal, karena mengandung nilali-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa beradab di seluruh muka bumi; lestari, karena ia mampu menampung dinamika masyarakat, dan akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan Negara selama bangsa Indonesia tetap setia kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
2. Makna Alinea-Alinea Pembukaan UUD 1945
Alinea Pertama dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas Dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" menunjukkan keteguhan dan kuatnya penddirian bangsa Indonesia menghadapi masalah "kemerdekaan lawan penjajahan". Dengan pernyataan itu bukan saja Bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan untuk menentang dan menghapuskan penjajahan di atas Dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif. Yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di Dunia ini dapat menjalankan hak kemerdekaannya yang merupakan hak asasinya. Di situlah letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Alinea ini juga mengandung suatuu pernyataan subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari perjuangan.
Dalil tersebut di atas meletakkan tugas kewajiban kepada bangsa/ pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Sudah jelas pendirian yang sedemikian itu yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar akan tetap menjadi landasan pokok dalam mengendalikan politik Luar Negeri kita.
Alasan bangsa Indonesia menentang penjajahan, karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini berarti bahwa setiap hal atau sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh Bangsa Indonesia.
Alinea kedua yang berbunyi: "Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyar Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur" menunjukkan kebangsaan dan penghargaan kita atas perjuangan bangsa Indonesia selama itu. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan sekarang tidak dapat dipisahkan dari keadaan kemarin dan langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang. Dalam alinea itu jelas apa yang dikehendaki atau diharapkan oleh para "pengantar” kemerdekaan, itulah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, benlaulat, adil dan makmur.
Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Alinea ini menunjukkan adanya ketepatan dan ketajaman penilaian:
a.   bahwa perjuangan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang menentukan;
b.   bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan;
c.   bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea ketiga yang berbunyi. "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya", bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materiil Bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/kepercaya-annya, menjadi motivasi spiritualnya, bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Dengan ini digambarkan bahwa Bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang berkeseimbangan, keseimbangan kehidupan materiil dan spiritual, keseimbangan kehidupan di Dunia dan di Akherat.
Alinea ini memuat motivasi spiritual yang luhur serta suatu pengukuhan dari Proklamasi Kemerdekaan.
Alinea ini menunjukkan pula ketaqwaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berkat ridhonyalah bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangan mencapai kemerdekaannya.
Alinea keempat berbunyi, "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia".
3. Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945
Selain apa yang diuraikan di muka, sesuai dengan Penjelasan Undang-­Undang dasar 1945, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri, ialah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu mengandung pokok-pokok pikiran yang diciptakan dan dijelmakan dalam Undang-Undang dasar, yaitu dalam pasal-pasalnya.
Ada 4 (empat) pokok pikiran yang sifat dan maknanya sangat dalam, yaitu:
a.   Pokok pikiran pertama: "Negara" -begitu bunyinya- "melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian "Pembukaan" itu menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan". Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran Persatuan, dengan pengertian yang lazim, negara, penyelenggara negara dan setiap warga Negara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atan pun perorangan.
b.   Pokok pikiran kedua: "Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat". Ini merupakan pokok pikiran Keadilan Sosial, yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.
c.   Pokok pikiran ketiga: yang terkandung dalam "Pembukaan" ialah Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara yang terbentuk dalam Udang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
Ini adalah pokok pikiran Kedaulatan rakyat, yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
d.   Pokok pikiran keempat: yang terkandung dalam "Pembukaan" ialah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral Rakyat yang luhur. Ini menegaskan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Apabila kita perhatikan keempat pokok pikiran itu, maka tampaklah bahwa pokok-pokok pikiran itu tidak lain adalah pancaran dari dasar falsafah Negara Pancasila.
4. Hubungan antara Pembukaan dengan Pasal-pasal UUD 1945
Isi UUD 1945 dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.   Bagian pertama, adalah Pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari empat alinea, di mana alinea terakhir memuat Dasar negara Pancasila.
b.   Bagian kedua terdiri dari: Pasal-pasal UUD 1945 yang terdiri dari 20 bab, 73 pasal, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dilihat dari tertib hukum, kedua bagian itu mempunyai kedudukan yang berbeda. Bagian pertama (Pembukaan) memiliki kedudukan lebih tinggi daripada bagian kedua. Hal ini disebabkan karena Pembukaan memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai Pokok Kaidah Fundamental Negara Republik Indonesia. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1.   Dilihat dari sejarah terjadinya, Pembukaan ditentukan oleh Pembentuk Negara (dalam hal ini adalah PPKI).
2.   Dilihat dari isinya, Pembukaan memuat asas falsafah negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).
3.   Pembukaan menetapkan adanya suatu UUD Negara Indonesia.
Dengan kedudukannya sebagai Pokok Kaidah Fundamental Negara Republik Indonesia, maka Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap, artinya tidak dapat diubah, apalagi diganti oleh siapa pun, termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan umum. Dalam Hukum, Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan yang kuat, tetap dan tidak berubah, terlekat pada kelangsungan hidup negara Republik Indonesia. Hal ini berarti jika Pembukaan UUD 1945 itu diubah, apalagi diganti berarti membubarkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Pasal-pasal UUD 1945. Hal ini berarti bahwa keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda, dan masing-masing memiliki eksistensi sendiri. Meskipun demikian Pembukaan UUD 1945 mempunyai hubungan erat dengan Pasal-pasal UUD 1945. Hubungan itu dapat dilihat dan beberapa aspek sebagai berikut:
a.   Ditinjau dari isi pengertian yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945.
1. Merupakan rangkaian peristiwa dan keadaan yang mendahului terbentuknya negara yang merupakan rumusan dasar-dasar pemikiran dan motif yang mendorong bagi tersusunnya kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam wujud terbentuknya negara Indonesia. Hal ini tertuang dalam alinea pertama, kedua dan ketiga Pembukaan UUD 1945.
2.   Merupakan pernyataan yang akan dilaksanakan setelah negara Indonesia terwujud. Hal ini tersurat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Apabila kita kaji secara mendalam, maka alinea pertama, kedua, dan ketiga dengan alinea keempat dipisahkan dengan adanya perkataan:
"Kemudian daripada itu ...." pada bagian awal alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat hubungan antara masing-masing bagian Pembukaan dengan Pasal-pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.   Alinea pertama, kedua, dan ketiga Pembukaan UUD 1945 merupakan pernyataan yang tidak mempunyai hubungan organis dengan Batang Tubuh UUD 1945.
2.  Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mempunyai hubungan causal dan organis dengan Pasal-pasal UUD 1945, yang mencakup beberapa aspek:
(1)  UUD itu ditentukan akan ada.
(2)  Apa yang diatur dalam UUD adalah tentang pembentukan pemerintah negara yang memenuhi berbagai persyaratan.
(3)  Negara Indonesia berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat.
(4)  Ditetapkannya dasar kerokhanian (Filsafat Negara Pancasila)
b. Ditinjau dan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945.
Mengenai pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan sebagai berikut:
1.   "Negara" begitu bunyinya "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dalam Pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, negara menurut pengertian "Pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.
2.   Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3.   Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan.
4.   Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan dan UUD Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsideo) yang menguasai Hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak tertulis. UUD menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
Begitulah, hubungan antara Pembukaan dengan Pasal-pasal UUD tampak jelas sekali, hubungannya causal-organis.
c.   Ditinjau dari hakekat dan kedudukan Pembukaan UUD 1945.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa Pembukan mempunyai edudukan sebagai Pokok Kaidah Fundamental daripada negara Republik Indonesia. Dengan demikian Pembukaan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Pasal-pasal UUD 1945. Atau dengan kata lain:
1.   Pembukaan merupakan tertib hukum tertinggi dan terpisah dari Pasal-pasal UUD 1945.
2. Pembukaan merupakan Pokok Kaidah Fundamental yang menentukan adanya UUD itu.
3.   Terbawa oleh kedudukannya sebagai Pokok Kaidah Fundamental, Pembukaan mengandung pokok-pokok pikiran yang oleh UUD hrus diciptakan/dituangkan dalam pasal-pasalnya.
5. Hubungan antara Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945
Pancasila sebagai azas kerokhanian dan dasar filsafat negara mempunyai fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai azas kerokhanian dan dasar filsafat negara merupakan unsur penentu berlakunya tertib hukum Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakn inti dari Pembukaan UUD 1945. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa Pancasila merupakan Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, yang bentuk dan wujudnya tertuang dalam UUD. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, berarti bahwa negara Indonesia harus didirikan dan dibangun di atas dasar tersebut. Oleh karena itu seperti halnya dengan Pembukaan, maka Pancasila pun tidak dapat diubah, apalagi diganti oleh siapa pun termasuk Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan umum, karena merubah/mengganti berarti membubarkan negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi jelas sekali bahwa hubungan antara Pancasila dengan Pembukaan sangat erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Sementara itu alinea pertama, kedua, dan ketiga Pembukaan UUD 1945 melukiskan tentang peristiwa dan keadaan yang menjadi pendorong perjuangan bangsa dalam memperoleh kemerdekaannya. Jika kita telaah secara mendalam, maka yang menjadi pendorong perjuangan adalah adanya cita-cita yang terjiwai oleh keyakinan luhur akan kebenaran Pancasila.
Dengan dicantumkannya Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945, maka Pancasila berkedudukan sebagai norma hukum objektif. Sesuai dengan kedudukan Pembukaan sebagai Pokok Kaidah Fundamental daripada negara Republik Indonesia, mempunyai kedudukan yang sangat kuat, tetap dan tidak dapat diubah oleh siapa pun, maka perumusan Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan bersifat kuat, tetap dan tidak dapat diubah oleh siapa pun. Dengan kata lain perumusan Pancasila yang sah adalah seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai substansi esensial daripada Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu yang penting bagi kita bangsa Indonesia bahwa dalam mewujudkan cita-­citanya harus sesuai dengan Pancasila, artinya cara dan hasilnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Sedangkan cita-cita bangsa Indonesia tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 oleh karena itu Pancasila dan Pembukaan yang mempunyai hubungan erat harus dilaksanakan secara serasi, seimbang, dan selaras. Kecuali itu, apabila kita mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan, maka akan diperoleh Pengertian yang sama. Lebih jelas hubungan tersebut tergambar sebagai berikut.

Sila-sila Pancasila                   Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945
      1                                     I (sila ke 3)
      2                                     II (sila ke 5)
      3                                     II (sila ke 4)
      4                                     IV (sila ke1 dan 2)
Dari skema tersebut di atas, tampak sekali akan hubungan antara Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945.
6.   Hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi 17 Agustus 1945
Apabila kita hubungkan antara inti isi pengertian Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 maka keduanya mempunyai hubungan azasi (prinsip) yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
Proklamasi 17 Agustus 1945 memuat dua hal pokok, yaitu:
a.     Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia.
b.     Tindakan-tindakan yang harus segera diselenggarakan sehubungan dengan pernyataan kemerdekaan itu.
Sedangkan Pembukaan UUD 1945, terutama dalam alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan dan alinea keempat memuat tindakan yang harus dilaksanakan setelah adanya negara.
Dengan demikian dapatlah ditentukan letak dan sifat hubungan antara Pembukaan UUD l945 dengan Proklamasi l7Agustus 1945 sebagai berikut:
a.   Keduanya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
b.   Ditetapkannya Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia merupakan realisasi dari alinea/bagian kedua Proklamasi 17 Agustus 1945.
c.   Pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya merupakan pernyataan kemerdekaan secara terperinci dengan memuat pokok-pokok pikiran daripada adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkannya kemerdekaan dalam bentuk Negara Indonesia Merdeka berdaulat, bersatu, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Bahkan dapat dikatakan bahwa sifat hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dan Proklamasi 17 Agustus adalah sebagai berikut.
a.   Alinea pertama, kedua dan ketiga Pembukaan UUD 1945 memberi penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945.
b.   Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 memberi pertanggung-jawaban terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945.
Hal ini berarti antara Pembukaan UUD 1945 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan satu kesatuan yang bulat. Apa yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan amanat keramat dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, konstruksi negara proklamasi seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia pada saat negara itu diproklamasikan, hanyalah dapat dilihat, dihayati dari dan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya Negara proklamasi 17 Agustus 1945 hanya dapat disusun dan diselenggarakan berdasarkan Pembukaan UUD 1945, inklusif Pancasila yang terkandung di dalamnya.
E. Pasal-Pasal UUD 1945
UUD 1945 yang telah diamandemen terdiri dan 20 bab, 73 pasal, dan 3 pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal aturan Tambahan. Secara rinci bab dan pasal-pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Bab I                Bentuk dan Kedaulatan Negara terdiri, 1 pasal 3 ayat.
Bab II              Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), terdiri 2 pasal                          6 ayat.
Bab III             Kekuasaan Pemerintahan Negara,terdiri17 pasal 38  ayat.
Bab IV             Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dihapuskan.
Bab V              Kementrian Negara, terdiri 1 pasal 4 ayat.
Bab VI             Pemerintahan Daerah, terdiri 3 pasal 11 ayat.
Bab VII            Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdiri 7 pasal 18 ayat.
Bab VII A       Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdiri 2 pasal 8 ayat.
Bab VII B        Pemilihan Umum (Pemilu), terdiri 1 pasal 6 ayat
Bab VIII          Hal Keuangan, terdiri 5 pasal 7 ayat.
Bab VIII A      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdiri 3 pasal 7 ayat.
Bab IX             Kekuasaan Kehakiman, terdiri 5 pasal 7 ayat
Bab IX A         Wilayah Negara, terdiri 1 pasal 1 ayat.
Bab X              Warga Negara dan Penduduk, terdiri 3 pasal 7 ayat
Bab X A          Hak Asasi Manusia (HAM), terdiri 10 pasal 26 ayat.
Bab XI             Agama, terdiri 1 pasal 2 ayat.
Bab XII           Pertahanan dan Keamanan Negara, terdiri 1 pasal 5 ayat.
Bab XIII          Pendidikan dan Kebudayaan, terdiri 1 pasal 5 ayat.
Bab XIV          Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, terdiri 2 pasal 9 ayat.
Bab XV    Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, 5 pasal 5 ayat.
Bab XVI           Perubahan UUD, terdiri 1 pasal 5 ayat.
Pasal-pasal UUD tersebut mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari Pokok-pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan pasal-pasalnya merupakan rangkaian kesatuan yang bulat dan terpadu.
F. Sistem Pemerintahan Negara menurut UUD 1945.
Sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 yang telah diamandemen sangat berbeda dengan sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum diamandemen. Meskipun nama-nama kelembagaan negara yang ada masih dipertahankan dan dengan ditambah lembaga-lembaga baru, tetapi tugas dan kewenangannya sudah sangat berbeda. Demikian pula dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang dianutnya, yang mencerminkan sistem pemerintahan negara yang ada, secara formal masih banyak persamaannya. Hal tersebut terjadi karena beberapa prinsip yang semula termaktub dalam Penjelasan, setelah amandemen isi materinya dimasukkan ke dalam pasal dan ayat UUD.
Secara garis besar gambaran tentang sistem pemerintahan negara yang dianut oleh UUD 1945 yang telah diamandemen adalah sebagai berikut:
1.  Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2). Menurut UUD 1945, MPR yang keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD bukan lagi sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2). Dalam UUD 1945 yang 1 diamandemen tidak lagi menyebut lembaga apa yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedaulatan rakyat terbagi di antara lembaga-lembaga negara dengan bidang kekuasaannya masing-masing.  MPR tidak mempunyai kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, tetapi hanya sebatas melantik (pasal 3 ayat 3 dan pasal 8 ayat 3). Demikian halnya dengan GBHN, UUD 1945 tidak lagi mengenal istilah GBHN sebagai produk MPR. MPR mempunyai kewenangan memberhentikan presiden dan atau wakil presiden menurut UUD setelah pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran terhadap UUD yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden mendapat keputusan Mahkamah Konstitusi, sehingga kewenangan MPR dalam hal ini juga sebatas mengesahkan saja (pasal 3 ayat 3, pasal 7A, 7B, dan pasal 24C ayat 1 dan 2). Kewenangan terbesar MPR adalah menetapkan dan mengubah UUD (pasal 3 ayat 1) selain mengenai Pembukaan UUD (konsensus nasional) dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 37 ayat 5).
2.    Sistem Konstitusional:
Sistem konstitusional dalam UUD 1945 tercermin dalam ketentuan­ketentuan sebagai berikut:
a.  Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2).
b.  MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (pasal 3 ayat 3).
c.  Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (pasal 4 ayat 1).
d.  Presiden dan atau Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya bersumpah atau berjanji memegang teguh UUD (pasal 9 ayat 1).
e.  Hak-hak DPR ditentukan oleh UUD (pasal 20A).
f.   Setiap UU yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan UUD (pasal 24C ayat 1).
g.  Kewenangan lembaga negara (tinggi/tingkat pusat) ditentukan oleh UUD (pasal 24C ayat 1).
h.  Putusan dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD (pasal 24C ayat 2).
3.    Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
Keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Sebagai negara hukum, segala tindakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga negara diatur oleh aturan hukum dengan konsekuensi adanya sanksi bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum. Faham negara hukum yang dianut di Indonesia adalah faham negara hukum dalam arti luas, di mana negara dengan peraturan hukumnya tidak hanya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan setiap individu warga negara, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan umum.
4.    Presiden adalah pemegang kekuasaun pemerintahan menurut UUD (pasal 4 ayat 1). Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat 2). Kedudukan Presiden tidak lagi mutlak bertunduk kepada MPR atau menjadi mandataris MPR, sebab Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu, dan MPR hanyalah melantik. Demikian halnya apabila Presiden diduga melanggar UUD, maka MPR baru dapat memberhentikannya setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang hal tersebut.
5.    Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi (pasal ayat 1). Presiden memegang tanggung jawab atas jalannya pemerintahan menurut UUD, dan kepada Presiden diberikan kewenangan untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden. Kedudukan Dewan Penasehat Presiden adalah dibawah Presiden, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi Presiden wajib bekerja sama dengan DPR. Dalam pembuatan undang-undang Presiden harus mendapat persetujuan DPR, demikian pula dalam pelaksanaan kewenangan Presiden harus mendengar betul pertimbangan atau suara DPR, termasuk untuk hak-hak Presiden yang bersifat prerogatif. Bahkan dalam hubungannya dengan Presiden, kedudukan DPR sangat kuat. Presiden tidak dapat membubarkan DPR (pasal 7C), bahkan DPR dapat mengajukan usul kepada MPR.
6.    Menteri Negara ialah pembantu Presiden (pasal 17 ayat 1). Menteri negara adalah pembantu Presiden, oleh karena itu kedudukan Menteri  sangat tergantung pada Presiden (pasal 17 ayat 2). Menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7.    Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Presiden selaku kepala negara mempunyai kekuasaan yang sangat luas, meskipun tidak bersifat mutlak. Kekuasaan Presiden selain dibidang eksekutif, juga memiliki kekuasaan menyusun undang-undang (bidang legislatif) dan di bidang yudikatif. Namun demikian, kewenangan Presiden menurut UUD 1945 yang telah diamandemen ini mengalami perubahan yang sangat mendasar, dimana kontrol DPR atas berbagai kewenangan Presiden sangatlah dominan, yaitu dengan format harus dengan “persetujuan” atau dengan “meminta pertimbangan" DPR. Kewenangan lain dari DPR atas Presiden adalah apabila diduga Presiden melakukan pelanggaran berat dan atau pelanggaran atas UUD, maka DPR mempunyai kewenangan untuk mengusulkan kepada MPR memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Presiden juga harus berpegang teguh pada UUD/sistem konstitusional dan hukum yang berlaku.
8.    Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 ayat 1 dan pasal 18 ayat 1).
       Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Pemerintahan daerah berhak menentukan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
G. Kelembagaan Negara menurut UUD 1945
1.  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara, putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak (pasal 2). Kewenangan MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (pasal 3). Karena MPR bukan lagi sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat, maka MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR ditugasi melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAPMPRS dan MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003 (pasal 1 AT).
2.   Presiden dan Wakil Presiden
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dan dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden. (pasal 4) Presiden berhak mengajukan RUU, dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU (pasal 5).
Syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah WNI sejak kelahirannya, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan kewajibannya, sedang syarat-syarat lainnya akan diatur dengan UU (pasal 6). Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Presiden dan Wakil diusulkan oleh partai politik peserta pemilu. Pasangan yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dan jumlah suara dan sedikitnya dua puluh persen suara tiap provinsi yang tersebar di lebih setengah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang memenuhi, maka dua pasangan dua pasangan perolehan suara terbanyak dipilih oleh rakyat secara langsung, dan yang memperoleh suara terbanyak dilantik menjadi Presiden dan Wakil. Tentang tata cara pemilihan diatur dengan UU (pasal 6A).
Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan. Dalam masa jabatannya Presiden dan Wakil dapat diberhetikan oleh MPR atas usul DPR sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan apabila terbukti melakukan pelanggaran pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil (pasal 7A). Atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil oleh DPR kepada MPR, Mahkamah Konstitusi wajib memerika, mengadili dan memutuskannya permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh 2/3 anggota sidang yang memenuhi kuorum (2/3). Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti, maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Atas usul DPR, MPR akan memutuskannya melalui rapat yang dihadiri 3/4 anggota, dan disetujui 2/3 yang hadir. Sebelum diputuskan, kepada Presiden diberikan kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna (pasal 7B).
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (pasal 7C). Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya, maka akan digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Sedang bila terjadi kekosongan wakil Presiden, selambat-lambatnya 60 hari MPR bersidang memilih wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan Presiden. Apabila Presiden dan Wakil berhalangan tetap secara bersama-sama, maka Menteri Luar Negeri, Mendagri dan Menhan melakukan kewajiban Presiden dan Wakil secara kolektif, dan selambat-lambatnya 30 hari setelah itu MPR bersidang memilih Presiden dan Wakil dan dua pasangan yang diusulkan oleh Parpol yang pasangan calon Presiden dan Wakil memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai habis masa jabatannya (pasal 8).
Sebelum memangku jabatannya Presiden dan Wakil bersumpah atau berjanji dihadapan MPR atau DPR, atau pimpinan MPR yang disaksikan Pimpinan MA (pasal 9).
Hak-kewenangan lain dari Presiden selaku kepala negara adalah
dimilikinya hal prerogatif, yang antara lain:
-     Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, AU (pasal 10).
-     Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR, terutama yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi negara (pasal 11).
-     Menyatakan keadaan bahaya, yang syarat dan akibatnya ditetapkan dengan UU (pasal 12).
-     Mengangkat dan menerima duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR (pasal 13).
-     Presiden memberikan grasi dengan pertimbangan MA, dan memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (pasal 14).
-     Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan menurut UU (pasal 15).
-    Presiden membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden (pasal 16).
Selain itu Presiden juga berhak mengangkat menteri-menteri sebagai pembantu Presiden (pasal 17).
3.  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keanggotaan DPR dipilih melalui pemilu. DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (pasal 19). DPR memegang kekuasan membentuk UU, dan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama dan selanjutnya disahkan oleh Presiden. RUU yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, maka 30 hari sejak RUU itu disetujui adalah sah menjadi UU (pasal 20).
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, dan untuk itu DPR diberikan hak-hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta imunitas (pasal 20).
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (pasal 21). Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu, dan pada masa persidangan DPR berikutnya Perpu tersebut harus dimintakan persetujuan DPR. Apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu harus dicabut (pasal 22). Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan syarat-syarat dan tatacara yang diatur dengan undang-undang (pasal 22B).
4.  Dewan Perwakikin Daerah (DPD)
Anggota DPD dipilih dan setiap provinsi melalui pemilu, setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dan 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (pasal 22C). DPD berhak mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahasnya yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat - daerah, serta memberi pertimbangan atas RUU APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (pasal 22D). DPR dapat melakukan pengawasan terhadap UU yang usulan dan pembahasannya dimiliki oleh DPD.
5.  Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam rangka pelaksanaan Pemilu agar terselenggara sesuai asas (luberjurdil), maka dibentuklah sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (pasal 22E). KPU selain ada ditingkat pusat, juga terdapat KPU daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
6.  Bank Sentral
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan UU (pasal 23D).
7.  Badan Pengawas Keuangan (BPK)
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan BPK yang bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD untuk ditindak lanjuti (pasal 23E). Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden, sedang pimpinan BPK dipilih dan dan oleh anggota (pasal 23F). BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi (pasal 23G).
8.  Mahkamah Agung
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dan dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24). MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Calon Hakim Agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Presiden. Ketua dan Wakil MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (pasal 24A).
9. Komisi Yudisial
Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota komisi yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 24B).
10. Mahkamah Konstitusi (MK)
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil menurut UUD. MK mempunyai 9 anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden yang masing-masing 3 orang diajukan oleb MA, DPR, dan Presiden. Ketua dan wakil ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara (pasal 24C). MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA (pasal III AP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klik