Selasa, 19 April 2011

Materi Pkn Kelas XI

Politik di Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara republik berdasarkan UUD 1945 dengan ciri-ciri pemisahan peranan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem pemerintahan Indonesia sering disebut sebagai "sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer". Setelah Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, reformasi besar-besaran segera dilakukan di bidang politik.

Proses Reformasi

Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1999, dan telah menghasilkan banyak perubahan penting.
Di antaranya adalah pengurangan masa jabatan menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun untuk presiden dan wakil presiden, serta dilaksanakannya langkah-langkah untuk memeriksa institusi bermasalah dan keuangan negara. Lembaga negara tertinggi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang fungsinya meliputi memilih presiden dan wakil presiden (sejak 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat), menciptakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan mengesahkan undang-undang. MPR beranggotakan 695 orang yang meliputi seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang beranggotakan 550 orang ditambah 130 orang dari perwakilan daerah yang dipilih dari masing-masing DPRD tiap-tiap provinsi serta 65 anggota yang ditunjuk dari berbagai golongan profesi.
DPR, yang merupakan institusi legislatif, mencakup 462 anggota yang terpilih melalui sistem perwakilan distrik maupun proporsional (campuran). Sebelum pemilu 2004, TNI dan Polri memiliki perwakilan di DPR dan perwakilannya di MPR akan berakhir pada tahun 2009. Perwakilan kelompok golongan di MPR telah ditiadakan pada 2004. Dominasi militer di dalam pemerintahan daerah perlahan-lahan menghilang setelah peraturan yang baru melarang anggota militer yang masih aktif untuk memasuki dunia politik.

Pengantar Dalam sebuah budaya politik

Apa sebenarnya budaya politik? Banyak ahli mendefinisikan pengertian budaya politik. Roy Macridis, mendefinisikan kebudayaan politik adalah sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Samuel Beer komponen-komponen kebudayaan adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap emosi tentang bagaimana pemerintah seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Sedangkan menurut Finer, kebudayaan politik suatu bangsa terutama nampaknya terpusat terhadap legitimasi peraturan-peraturan dan lembaga politik serta prosedur. Kemudian Dennis Kavanagh, kebudayaan politik adalah sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Adapun obyek-obyek politik mencakup bagian dari sistem politik, seperti badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, dan kelompok-kelompok organisasi, pandangan-pandangan individual sendiri sebagai pelaku-pelaku politik dan pandangannya terhadap warga masyarakat lain.
Robert Dahl, mendefinisikan kebudayaan politik adalah satu faktor yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik. Adapun unsur budaya yang penting:
1.Orientasi masalah-masalah, apakah mereka pragmatik atau rasionalistis. Orientasi ini biasanya ditentukan/diarahkan oleh faktor-faktor eperti tradisi, kenangan sejarah, motif, agama, perasaan, dan simbol-simbol. Adapun komponen orientasi ini Cognitif (pengetahuan dan kesadaran tentang sistem politik), afektif, kecenderungan emosi terhadap sistem itu, dan evaluasi (pertimbangan terhadap sistem).
2.Orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka bersifat kerjasama atau tidak (kooperatif atau non kooperatif).
3.Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak.
4.Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak.

Menurut Pye, indikator-indikator kebudayaan politik suatu bangsa mencakup faktor-faktor seperti wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan dan cara standar untuk penilaian aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi politik.

Definisi budaya politik yang lain diberikan Almond dan Verba, Menurut keduanya budaya politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluasi. Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya (Gaffar, 2004:99-100). Pendapat lain lagi dikemukan oleh Rusadi Kantaprawira, Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang (Kantaprawira, 1999:26).

Jadi kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai satu subkultur, kebudayaan politik dipengaruhi oleh budaya secara umum.

Lalu bagaimana dengan budaya politik Indonesia? Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):

1.Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keaneka ragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2.Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3.Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4.Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5.Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Varibel-variebel tersebut di atas terjali satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.

Bentuk-bentuk mempolitisasi agama ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan menggunakan dari ayat-ayat tertentu dari agama yang dapat membenarkan tindakan yang dilakukan dan dua dengan mengerahkan massa turun ke jalan, apakah itu dalam bentuk demonstrasi atau pawai dijalanan istilah lainnya “tekanan dari jalanan”.

Partai politik di Indonesia

Sejarah Partai Politik di Indonesia

Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia.[1]
Selama Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan Partai Politik dilarang, kecuali untuk golongan Islam yang membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).[2]
Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk banyak sekali PArtai Politik. Memasuki masa Orde Baru (1965 - 1998), Partai Politik di Indonesia hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia. Di masa Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem multi partai.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia sejak masa merdeka adalah:
  1. Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1955)
  2. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
  3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai
  4. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
  5. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
  6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
  7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
  8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (berlaku saat ini)

Pengertian Budaya

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Unsur-unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
  • Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
    • alat-alat teknologi
    • sistem ekonomi
    • keluarga
    • kekuasaan politik
  • Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
    • sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
    • organisasi ekonomi
    • alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
    • organisasi kekuatan (politik)

Wujud dan komponen

Wujud

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
  • Gagasan (Wujud ideal)
    Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
  • Aktivitas (tindakan)
    Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
  • Artefak (karya)
    Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
  • Kebudayaan material
    Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
  • Kebudayaan nonmaterial
    Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

PROSES DEMOKRATISASI

DEMOKRATISASI DI INDONESIA
� Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, �migrasi� para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para �migran politik� tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
� Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal

� Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
� Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.

Pentingkah Keterbukaan dan Keadilan ?

Pentingnya Keterbukaan dan Jaminan Keadilan
Dengan keterbukaan dan jaminan keadilan, masyarakat akan lebih mudah dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang membangun. Aspirasi dan pendapat itu ditampung dan diseleksi, kemudian dijadikan suatu keputusan bersama yang bermanfaat. Berbagai aspirasi yang telah menjadi keputusan bersama dapat menjadikan bangsa ini mudah mencapai suatu keadilan. Jika masyarakat suatu bangsa telah ikut berperan dan munyumbangkan aspirasi dan pendaptnya, persatuan akan lebih mudah terwujud. Hal itu dikarenakan mereka merasa mempunyai cita-cita, tujuan, dan peranan yang sama ketebukaan yang mensyaratkan kesediaan semua pihak untuk menerima kenyataan merupakn pluralitas. Selain itu, di dalamnya juga muncul perbedaan pendapat.
Pada dasarnya kebijakan publik dan peraturan pelaksanaan yang mengikutinya memuat arahan umum serta ketentuan yang mengatur masyarakat. Sehubungan dengan itu, semua kebijaksanaan publik dan dan peraturannya membutuhkan dukungan masyarakat untuk bisa efektif. Penentangan oleh masyarakat tehadap sejumlah kebijaksanaan dan peraturan yang ada secar empirik lebih banyak dikarenakan oleh kurangnya keterlibatan publik dalam tahap kebijaksanaan. Jika hal itu dibiarkan begitu saja maka makin besar keinginan rakyat untuk selalu mengadakan pembaharuan, tetapi rakyat tidak tau arahnya sehingga mereka akan mudah kehilangan kendali dan emosianal. Rakyat cenderung ingin membentuk suatu wadah dengan kebijakan sendiri. Akibatnya, timbul konflik yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, jika keterbukaan dan jaminan keadilan selalu dipupuk dan diperhatikan akan menghasilkan suatu kebijakan publik dan peratruran umum yang mengatur masyarakat dengan baik. Sikap Yang Dilakukan Untuk Mencapai Keterbukaan dan Jaminan Keadilan
Selain keterbukaan dalam hidup berbangsa dan bernegara, tidak kalah pentingnya adalah menciptakan keadilan. Persatuan bangsa dan keutuhan negara hanya akan terwujud jika tedapat keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan merupakan unsur yang sangat esential dalam kehidupan manusia. Semua orang berharap mendapatkan jaminan dan rasa keadilan.
Dalam kehidupan sekarang, musuh terbesar bangsa adalah ketidakadilan. Ketidakadilan dapat menciptakan kecemburuan, kesenjangan, pertentangan dan disintegerasi bangsa. Jika kita amati lebih jauh keadaan negara kita ini, pertentangan antar suku bangsa dalam perpecahan wilayah bersumber dari ketidakadilan. Karena diperlakukan tidak adil, antara anak bangsa dapat bertikai dan antar golongan saling berseteru. Dengan demikian, keadilan adalah prasyarat bagi terwujudnya persatuan bangsa dan keutuhan negara.

Sejarah Hubungan Internasional

Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa] didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai. [Westphalia] mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama [Perang Dingin]. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.

Teori hubungan internasional

Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant sering dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan landasan hubungan internasional.

Teori Epistemologi dan teori HI

Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme Neorealisme Idealisme Liberalisme Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.)

Realisme

Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri (self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri” realisme oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer. Namun, meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis, ketiga orang tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).

Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal

Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr. Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler

Neorealisme

Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut teorinya “realisme struktural” di dalam buku karangannya yang berjudul Man, the State, and War). Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif (relative gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa neo-realisme tidak menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.

Neoliberalisme

Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga penting. Para pendukung seperti Maria Chatta berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga berarti bahwa pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain. Keadaan saling tergantung satu sama lain yang terus meningkat selama dan sesudah Perang Dingin menyebabkan neoliberalisme didefinisikan sebagai institusionalisme, bagian baru teori ini dikemukakan oleh Robert Keohane dan juga Joseph Nye.

Teori Rejim

Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai institusi atau rejim internasional mempengaruhi perilaku negara-negara (maupun aktor internasional yang lain). Teori ini mengasumsikan kerjasama bisa terjadi di dalam sistem negara-negara anarki. Bila dilihat dari definisinya sendiri, rejim adalah contoh dari kerjasama internasional. Sementara realisme memprediksikan konflik akan menjadi norma dalam hubungan internasional, para teoritisi rejim menyatakan kerjasama tetap ada dalam situasi anarki sekalipun. Seringkali mereka menyebutkan kerjasama di bidang perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan bersama di antara isu-isu lainnya. Contoh-contoh kerjasama tadilah yang dimaksud dengan rejim. Definisi rejim yang paling lazim dipakai datang dari Stephen Krasner. Krasner mendefinisikan rejim sebagai “institusi yang memiliki sejumlah norma, aturan yang tegas, dan prosedur yang memfasilitasi sebuah pemusatan berbagai harapan. Tapi tidak semua pendekatan teori rejim berbasis pada liberal atau neoliberal; beberapa pendukung realis seperi Joseph Greico telah mengembangkan sejumlah teori cangkokan yang membawa sebuah pendekatan berbasis realis ke teori yang berdasarkan pada liberal ini. (Kerjasama menurut kelompok realis bukannya tidak pernah terjadi, hanya saja kerjasama bukanlah norma; kerjasama merupakan sebuah perbedaan derajat).

Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)

Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu positivis. Para teoritisi teori ini telah berfokus terutama pada intervensi kemanusiaan, dan dibagi kembali antara para solidaris, yang cenderung lebih menyokong intervensi kemanusiaan, dan para pluralis, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang paling dikenal.

Mewujudkan Kerangka Masyarakat Madani

Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia
Perbincangan tentang masyarakat madani (civil society) di negara kita pada masa akhir-akhir ini menjadi marak bila dibandingknan dengan masa masa sebelumnya. Pembicaraannya bukan hanya mnuncul di kalangan akademik melalui berbagai pertemuan ilmiah, akan tetapi juga dikemukakan oleh para politisi dalam berbagai forum politik.

Para pejabat kita juga sudah mulai latah bicara tentang hal ini dalam berbagai pidato dan sambutannya seperti presiden dalam pidato kenegaraan, dalam SI MPR dalam peringatan hari besar keagmaan. Mereka bicara menurut visi dan pandangan sendiri-sendiri yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Sehingga secara sadar atau tidak kita telah bersepakat bahwa masyarakat madani adalah suatu tipe masyarakat yang akan kita wujudkan dalam kehidupan bangsa Indoensia di masa mendatang.

Dalam suasana yang demikian banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa masyarakat madani itu hanyalah sebuah konsep dan tidak ada konsep yang tunggal tentang masyarakat madani dimaksud karena para pakar sejak dulu hingga sekarang berbeda pendapat tentang hal tersebut. Akan tetapi memang ada beberapa kesamaan pandangan di antara mereka mengenai tipe masdyarakat ini.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadapan bukan sebuah masyarakat biadap. Kata civil dalam civil society memang berarti warga, sehingga ada juga yang cenderung menerjemahkannya dengan masyarakat kewargaan, tetapi dari akar kata tersebut muncul istilah civilization yang berarti peradapan.

Begitu juga kata madani yang juga merupakan padanan dari kata majinah yang berarti kota. juga dapat melahirkan kata tamaddun dalam bahasa Arab yang juga mempunyai makna peradapan.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadapan di mana di dalamnya ada keterbukaan sehingga ada juga yang menyebutnya dengan masyarakat terbuka. Menghargai dan mengakui adanya kebersamaan dama semua aspek kehidupann. Adanya jaminan hak dan kebebasan asasi manusia, demokratis dalam pemerintahan dan perpolitikan, memberi peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan dalam berbagai urusan kehidupan menentukan nasibnya tanpa harus ada berada pada jalur-jalur formal.

Sehingga ada yang menganggap filsafat tentang masyarakat madani pada dasarnya adalah falsafat tentang LSM (Lembaga swadaya masyarakat) dan menguatnya peran kelas menengah dalam kehidupan ekonomi.

Hal ini menjadi lebih jelas lagi kalau kita telusuri berbagai pandangan dan pendapat yang dikemukakan tokoh-tokoh kita berikut ini.

Kewajiban asasi

Presiden Habibie dalam Pidato Kenegaraan 15 Agustus 1998 menggunakan secara resmi istilah masyarakat madani dalam kehidupan ketatanegaraan di negara kita. Dalam rangka reformasi, menurut Habibie kita berusaha dengan sungguh-sungguh membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, atas dasar sendi-sendi masyarakat madani (civil society).

Dalam kehidupan masyarakat madani tersebut terdapat keseimbangan antara efektivitas pengawasan sosial atas dasar pelaksananan kebebasan-kebebasan asasi, terutama kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan serikat, di satu sisi dan tanggung jawab asasi atas dasar kewajiban asasi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada sisi yang lain.

Dalam pidato tersebut, Presiden BJ Habibie juga mengajak seluruh komponen bangsa untuk besama-sama mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani yang kita cita-citakan tersebut, sebagai salah satu perwujudan dari bangsa Indonesia yang maju dan modern, dalam rangka menghadapi dinamika kehidupan global di abad 21.

Sehubungan dengan itu katanya, untuk menumbuhkan tatanan yang kuat bagi pembentukan masyarakat madani yang merupakan cita-cita kita semua itu, suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) serta jujur dan adil yang akan menghasilkan badan legislatif yang benar-benar mengejawantahkan aspirasi rakyat akan mampu menjadi mitra yang seimbang dengan pemerintah.

Sidang Istimewa MPR yang berlangsung 10-13 November lalu sebagai suatu forum yang paling bergensi di negara kita mencatat banyaknya lontaran yang dikemukakan berkenaan dengan masyarakat madani ini.

Ketua MPR H Harmoko, dalam pidato pembukaan Sidang Paripurna Pertama dengan tegas menyatakan bahwa bidang sosial budaya kita akan meletakkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.

Kemudian istilah ini muncul dalam berbagai pidato pemandangan umum fraksi-fraksi MPR selama persidangan. Fraksi ABRI melalui juru bicaranya Laksamana Madya Widodo AS menyatakan dalam pemandangan umumnya bahwa di bidang politik kita bertekad mewujudkan masyarakat madani yang domokratis.

Fraksi Persatuan Pembangunan melalui juru bicaranya Fachri Hamzah SE menyebutkan salah satu ciri yang menandai zaman baru yang menjadi idaman Fraksi Persatuan Pembangunan adalah terbinanya masyarakat madani yang religius dan berkeadilan sosial.

Sedangkan Fraksi Karya Pembangunan melalui juru bicaranya Ny Aisyah Hamid Baidhowi menyatakan agar proses politik merupakan perwujudan dari reformasi adalah diarahkan pada terbangunnya tatanan masyarakat madani.

Dalam forum ini yang paling banyak berbicara tentang masyarakat madani adalah dari Fraksi Utusan Daerah. Fraksi tersebut melalui juru bicaranya Suryadi Soedirja mengemukakan secara panjang lebar mengenai usaha mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.

Aktualisasi Pancasila

Dengan memperhatikan masukan dari para pemikir, masyarakat dan para cendikiawan melalui berbagai dialog dan seminar Fraksi Utusan Daerah menyebutkan masyarakat Indonesia yang dinamis, adil dan makmur yang berideologi Pancasila yang terbuka dan tumbuh itu sebagai masyarakat madani.

Masyarakat madani ini merupakan aktualisasi dari Pancasila sebagai masyarakat yang dicita-citakan bersama yang diamanatkan dalam UUD 1945. Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu berjuang untuk memperbaiki dirinya sendiri melalui pemikiran kreatif warganya dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang selalu meningkat dan berubah menurut proses untaian prestasi hasil kompetisi yang sehat antarkomponen bangsa.

Dalam kancah pergaulan global yang penuh kompetisi, masyarakat tersebut mempunyai ciri modern yang bersifat terbuka dalam menghadapi perubahan dan pembaharuan diri secara berkelanjutan (adaptif, dapat menyesuaikan diri). Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dari tingkat pragnatis yang sederhana sampai dengan tingkat maju yang tepat guna sebagai sarana kemajuannya (mengutamakan pendidikann untuk maju). Serta mampu mengendalikan berbagai kekuatan sosial sebagai dasar rujukan kehidupan yang menghormati hukum dan demokrasi.

Pembangunan masyarakat tersebut, menurut Fraksi Utusan Daerah bertumpu pada delapan pilar kehidupan yaitu :

Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Etika dan moral. Kedaulatan rakyat atau demokrasi. Kebebasan dan keterbukaan. Hukum di atas kekuasaan. Hak asasi. Keadilan sosial dan kelestarian lingkungan

Kedelapan pilar tersebut menurut Fraksi Utusan Daerah merupakan rujukan bagi peningkatan kualitas masyarakat madani. Pada perjalanan reformasi menuju tatanan kehidupan demokrasi yang lebih baik, pengertian masyarakat madani menjadi sangat relevan, karena pengertian dasar tadi yang merupakan perwujudan Pembukaan UUD 1945 dan keterbukaannya beradaptasi dengan tuntutan modernitas dari globalisasi.

Masyarakat ini mempunyai ciri-ciri dan menginginkan. Pertama, rasa keadilan soali serta pemerataan kesempatan tubuh dan kesehatan yang lebih besar. Kedua, perubahan dari bentuk feodalistik ke egalitarian. Ketiga, menginginkan terwadahinya kemajemukan di masyarakat dan menghilangkan monolitik yang mengekang. Keempat, hilangnya segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kelima, hilangnya rasa takut dan berani menyatakan pendapat dan keenam terjadinya saling menghargai dan adanya persaingan sehat dan jujur dalam tingkatan yang setara dari komponen-kompnen sosialnya.

Pemikiran pandangan Fraksi Utusan Daerah yang cukup memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep masyarakat madani di negara kita.

Dalam Tap MPR

Secara formal istilah masyarakat madani ini telah digunakan pula Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan No X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nsional sebagai Haluan Negara.

Dalam kaitan dengan tujuan reformasi pembangunan pada butir (4) disebutkan meletakkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.

Kemudian dalam kebijakan Reformasi Pembangunan bidang agama dan sosial budaya disebutkan bahwa penanggulangan krisis di bidang sosial budaya ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, membangkitkan semangat optimisme dan keyakinan masyarakat Indonesia bahwa krisis nasional bisa diatasi dengan kekuatan sendiri dalam rangka meletakkan dasar-dasar perwujudan masyarakat madani.

Dengan digunakannya istilah masyarakat madani dalam Ketetapan MPR ini maka istilah itu sudah menjadi istilah resmi dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita.

Terakhir, Menteri Agama Malik Fajar dalam sambutannya pada Peringatan Nuzulul Quran di Mesjid Istiqlal Jakarta 4 Januari 1999 sehubungan dengan uraian Prof Dr Sofyan Idris dalam ceramahnya pada peringatan tersebut berkenan dengan gagasan Islam tentang terbentuknya masyarakat madani khususnya di Indonesia.

Untuk itu ia menyatakan bahwa harapan terwujudnya Muslim Civil Society yang lebih dekat dengan cita-cita global masyarakat madani itu dari Indonesia tentu bukan merupakan jargon politik belaka.

Kemudian Malik Fajar juga mengkaitkan dengan dasar falsafah Negara Pancasila. Untuk itu ia menyatakan bagi siapa pun tidak bisa memungkiri bahwa lima sila dasar negara yang kita miliki itu sangat kondusif dengan cita-cita kaum muslimin untuk memasuki era global civil society.

Sebab semua sila itu sesungguhnya tidak hanya paralel tetapi jelas merupakan prinsip dasar suatu pandangan hidup, yang cita-cita sosialnya merupakan satu kesatuan atau inheren dengan paham civil society. Paham ini sekarang menjadi jargon politik warga negara dunia yang baru setelah runtuhnya rezim komunis di Rusia dan Eropa Timur.

Berbagai hal yang dikemukakan di atas perlu unruk ikaji lebih jauh karena ia di samping sebagai rangkaian pemikiran baru dalam memberikan kontribusi kepada bangsa kita untuk mewujudkan suatu masyarakat madani di masa yang akan datang tetapi juga dapat dilihat sebagai konsep pemikiran yang sangat relevan untuk merumuskan konsep yang lebih tepat dari apa yang dinamakan masyarakat madani itu.
(H Abdurrahman SH,MH, Dosen Fak Hukum Unlam)

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme


Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme

Bagian Pertama
  1. Latar Belakang
Krisis ekonomi dan politik yang menghantam mulai pertengahan tahun 1997, mengharuskan bangsa Indonesia menelaah kembali konsep-konsep, metode-metode dan praktek-praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterapkan selama tiga dekade terakhir yang diyakini berperan besar dalam menyumbang terjadinya krisis tersebut. Pemerintahan yang sentralistis dan birokrasi yang patrimonialistik, penyelenggaraan negara yang terlepas dari kontrol sosial dan kontrol politik suprastruktur dan infrastruktur politik, serta ideologi pembangunanisme yang tidak berbasis pada ekonomi kerakyatan, berimplikasi luas pada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam tubuh pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru.
Orientasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN sebenarnya telah menjadi diskursus sejak awal berdirinya Orde Baru. Berbagai instrumen hukum dan lembaga telah dibentuk dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dan Keppres No. 33 tahun 1986 tentang Kewajiban Pelaporan Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD dan BUMN menunjukkan hal tersebut.
Namun ternyata kemudian terlihat, upaya-upaya tersebut hanya berhenti sampai tataran normatif dan tidak berlanjut ke tataran yang kongkret dan operasional. Ekonomi biaya tinggi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah merupakan bukti dari tidak pernah adanya komitmen dan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah Orde Baru untuk mencapai tujuan tersebut.

Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN kembali marak setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 ramai membahas tentang perlu-tidaknya seseorang melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki sebelum dan sesudah menduduki suatu jabatan negara. Perdebatan sidang umum tersebut terjawab pada Sidang Kabinet Pembangunan VII tanggal 17 Maret 1998 yang memutuskan agar pejabat tinggi negara dan pejabat negara lainnya melaporkan seluruh harta kekayaan pribadi, termasuk harta istri maupun suami, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Laporan ini bersifat tertutup hanya kepada Presiden dan tidak dilaporkan kepada masyarakat dengan alasan etika. Pelaksanaan hasil sidang kabinet tersebut -sekali lagi- tidak pernah terealisir.
Kondisi struktural dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998 dan kemudian ia digantikan oleh Wakil Presiden Habibie yang langsung menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan. Jatuhnya Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan lemahnya legitimasi politik Kabinet Reformasi menjadikan tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak dapat dibendung lagi oleh pemerintah. Perdebatan mengenai upaya menciptakan clean govermance di Indonesia terulang kembali pada Sidang Istimewa MPR yang diadakan pada bulan November 1998. Perdebatan yang alot dan ‘berdarah’ tersebut akhirnya menghasilkan Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Materi utama dari Tap MPR tersebut adalah mengenai; keharusan seorang pejabat negara untuk mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat; perintah kepada Kepala Negara RI untuk membentuk suatu lembaga dalam rangka melaksanakan pemeriksaan kekayaan pejabat tersebut; dan tercantumnya nama mantan Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah.
Berdasarkan arahan dari Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998, pemerintah membentuk RUU tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. RUU ini diharapkan dapat dijadikan landasan utama dari pemerintah yang sekarang dan di masa depan dalam rangka menciptakan penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih, berwibawa, dan profesional serta mengabdi pada kepentingan masyarakat luas.
  1. Tujuan
Upaya pemerintah untuk membentuk suatu undang-undang yang akan memberikan landasan kepada penyelenggara negara di masa mendatang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, perlu ditanggapi secara positif dan serius oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagai sebuah lembaga yang memberikan perhatian besar terhadap upaya-upaya menuju terciptanya clean and good governance di Indonesia, memiliki harapan dapat menyumbangkan pemikiran dalam rangka pembentukan suatu undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan transparan.
Seiring dengan diajukannnya RUU tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ke DPR dan dengan dilandasi komitmen seperti teruraikan di atas, tujuan kajian ini adalah:
  1.  
    1. mengadakan analisis akademis terhadap RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
    2. mengidentifikasi permasalahan dalam RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta memberikan komentar terhadap permasalahan tersebut; dan
    3. memberikan masukan terhadap RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  1. Subyek sasaran pengaturan dalam RUU adalah penyelenggara negara dan masyarakat.
1.1. Penyelenggara negara; dalam RUU didefinisikan sebagai
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif
atau yudikatif (Pasal 1 butir 1). Peyelenggara Negara dirinci lebih lanjut dalam Pasal 2 yang menyebutkan:
  1.  
    1. pejabat negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
    2. pejabat negara pada Lembaga Tinggi Negara;
    3. menteri;
    4. gubernur; dan
    5. pejabat negara yang lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
1.2. Masyarakat; pengaturan mengenai masyarakat sebagai subyek sasaran pengaturan terdapat dalam Bab V Pasal 8-9 tentang Peran Serta Masyarakat. Materi pasal-pasal tersebut mengatur mengenai landasan peran serta masyarakat, hubungan penyelenggara negara dan masyarakat serta bentuk-bentuk peran serta masyarakat.
  1. Obyek pengaturan dari RUU adalah mengenai hak dan kewajiban penyelenggara negara (Bab III), hubungan antar penyelenggara negara (Bab IV) dan peran serta masyarakat (Bab V).
Beberapa ketentuan pokok yang merupakan materi substansi RUU adalah mengenai kewajiban setiap penyelenggara negara yang disebut dalam Pasal 5, yaitu :
  1.  
    1. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
    2. mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
    3. melaporkan harta kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
    4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketetentuan-ketentuan tersebut merupakan ‘materi utama’ RUU, karena ketentuan-ketentuan berikutnya dari RUU berkaitan langsung dengan mekanisme pelaksanaan dan sanksi dari ‘ketentuan-ketentuan utama’ tersebut.
  1. Institusi Pelaksana dari RUU adalah: Komisi Tetap Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut dengan Komisi Tetap Pemeriksa (Bab IV).
Komisi ini merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Komisi terdiri dari 20 (dua puluh) orang anggota yang terbagi dalam 4 sub komisi yaitu:
  1.  
    1. Sub Komisi Eksekuitf;
    2. Sub Komisi Legislatif;
    3. Sub Komisi Yudikatif; dan
    4. Sub Komisi BUMN/BUMD.
Untuk membantu Komisi Tetap Pemeriksa, di daerah-daerah dibentuk Inspektur wilayah yang diangkat oleh menteri pengawasan pembangunan dan pendayagunaan aparatur negara.
Tugas dan wewenang pokok Komisi adalah melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara.
  1. Ketentuan sanksi dalam RUU ditujukan hanya terhadap pelanggaran atas Pasal 5 tentang kewajiban penyelenggara negara.
Sebagian besar sanksi berupa sanksi administratif yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dalam hal ini ketentuan tentang kepegawaian. Sedangkan sanksi pidana atau perdata yang diberikan, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut, dalam hal ini, KUHP, KUHAP dan UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
II. Identifikasi Permasalahan dan Komentar Umum
  1. Identifikasi Permasalahan
Bagian ini akan mencoba mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan dari RUU, baik permasalahan yang menyangkut materi substansi dari RUU maupun permasalahan kaedah-kaedah normatif dari penyusunan suatu undang-undang.
  1.  
    1. Tentang Subyek Sasaran Pengaturan RUU.
Subyek sasaran pengaturan dalam RUU ini adalah:
1.1. Penyelenggara negara; yang pengertiannya ‘hanya’ sebatas pejabat-pejabat negara, khususnya lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat. Sedangkan penyelenggara negara dalam artian aparatur pemerintah atau birokrasi negara pada semua jenjang jabatan baik di tingkat pusat maupun daerah tidak termasuk dalam definisi penyelenggara negara dalam RUU.
Permasalahan yang timbul dari sempitnya definisi tentang penyelenggara negara dalam RUU ini adalah:
  •  
    • Istilah penyelenggara negara yang selama ini dipakai baik secara akademis maupun secara umum, mencakup pengertian tentang keseluruhan aparatur pemerintahan dan kenegaraan, baik di pusat maupun di daerah, yang bertugas menyelenggarakan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan, mendapatkan gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Pembatasan ruang lingkup pengertian penyelenggara negara dengan menyempitkannya menjadi pejabat negara akan menghilangkan essensi harapan dan tujuan masyarakat atas keberadaan RUU.
    • Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean governance) sebagaimana dinyatakan dalam konsideran RUU, maka penyempitan definisi tentang penyelenggara negara menjadi sebatas pejabat negara akan mereduksi permasalahan, ruang lingkup dan sasaran dari usaha penciptaan penyelenggaraan negara yang bersih (clean governance) dan baik (good governance). Dengan RUU seolah-olah penciptaan penyelenggara negara yang bersih dapat diselesaikan cukup dengan ‘membersihkan’ pejabat-pejabat negara saja.
1.2. masyarakat; pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam RUU masih terkesan diberikan setengah hati, tercermin dari:
  •  
    • pengertian dan landasan hukum peran serta masyarakat dartikan sebagai wujud hak dan tanggung jawab masyarakat. Selayaknya, pengertian dan landasan hukum bagi peran serta masyarakat adalah pemberian kesempatan atau peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam mendukung tujuan penciptaan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
<
  •  
    • pengaturan peran serta dibatasi oleh prinsip hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat yang harus sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Padahal asas-asas tersebut hanya dapat mengikat penyelenggara negara an sich dan tidak untuk masyarakat;
    • bentuk-bentuk peran serta masyarakat dibatasi pada hak-hak yang definitif, dan pada beberapa ketentuan masih di atributi dengan aturan yang ‘defensif’, seperti; "…secara bertanggung jawab" dan "…menaati norma agama dan norma sosial lainnya". Hal ini mencerminkan ketakutan yang berlebihan terhadap perilaku masyarakat dalam menjalankan peranannya.

  1. Tentang Obyek Pengaturan
Obyek pengaturan dari RUU adalah mencakup tentang:
  1. hak dan kewajiban dari penyelenggara negara;
Dapat dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab III RUU ini adalah ‘materi utama’ dalam RUU. Terutama ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kekayaan pejabat negara.
Ketentuan yang seharusnya diatur dalam RUU ini adalah tentang kewajiban dan larangan dari penyelenggara negara bukan ketentuan-ketentuan mengenai hak penyelenggara negara. Ketentuan-ketentuan mengenai hak penyelenggara negara dalam RUU menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan maksud dan tujuan dari RUU. Hak-hak penyelenggara negara, dalam hal ini pejabat negara, akan menjadi relevan apabila diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya berisi ketentuan-ketentuan mengenai pejabat negara.
  1. hubungan antarpenyelenggara negara;
Pengaturan tentang hubungan antarpenyelenggara negara dalam RUU ini terkesan dipaksakan keberadaannya. Pengaturan mengenai hubungan-hubungan aparatur penyelenggara, hubungan-hubungan antara lembaga-lembaga negara dan lain sebagainya yang menyangkut pola-pola pemerintahan dan adminsitrasi negara, tidak ada kaitannya dengan upaya menciptakan penyelanggaran negara yang bersih dan bebas KKN. Pengaturan tentang hal ini lebih cocok dicantumkan dalam suatu peraturan perundang-undangan atau kode etik tentang tata pemerintahan yang daya ikatnya lebih bersifat internal.
  1. peran serta masyarakat;
Ketentuan-ketentuan dalam Bab tentang peran serta masyarakat ini, lebih mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat daripada peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara adalah suatu bentuk kontrol sosial. Sehingga pengaturannya dalam perundang-undangan sebaiknya adalah pemberian peluang yang luas dan rangsangan untuk berperan aktif dalam menjalankan fungsi kontrol sosial tersebut dan bukan dengan cara mendiktekan hak dan kewajiban yang malah dapat membatasi ruang gerak masyarakat dalam melakukan peran sertanya dalam menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
  1. Institusi Pelaksana
Institusi yang menjadi pelaksana utama ketentuan RUU adalah Komisi Tetap Pemeriksa yang memiliki tugas dan wewenang pokok memeriksa kekayaan penyelenggara negara sebelum dan sesudah menjabat. Permasalahan mendasar dari lembaga ini, adalah bahwa secara instutisional komisi ini mirip dengan institusi di beberapa negara yang ruang lingkup tugas dan wewenangnya adalah mencegah dan menanggulangi korupsi di pada suatu negara. Hanya bedanya tugas dan wewenang Komisi Tetap Pemeriksa lebih sempit yaitu sekedar melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap kekayaan penyelenggara negara. Padahal tugas yang diembannya sangat berat yaitu mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
Tugas komisi yang seperti itu akan menjadi tumpang tindih dengan atau bahkan tersingkir oleh Badan Anti Korupsi dan Badan Pencatat Transaksi Keuangan yang kebutuhan akan keberadaannya jauh lebih mendesak pada saat ini.
  1. Tentang Ketentuan Sanksi
Ketentuan sanksi dalam sebuah undang-undang harus dirumuskan dengan jelas, tegas dan cermat, karena menyangkut kepastian hukum bagi seseorang. RUU tidak mengatur atau membuat sendiri sanksi atas pelanggaran ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasal-pasalnya. RUU hanya mendasarkan pada peraturan perundang-undangan sejenis yang ada dan mengatur hal tersebut. Hal ini secara sosiologis menunjukkan tidak adanya keseriusan dan kesiapan RUU dalam merespon harapan dan tuntutan masyarakat dan secara yuridis cenderung terjadi tumpang tindih obyek pengaturan dengan peraturan perundang-undangan sejenis yang telah ada, yaitu peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian dan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidan korupsi.
  1. Tentang Ketidakjelasan Definisi dan Konsep-konsep
Dalam RUU banyak terdapat ketidakjelasan definisi dan konsep yang dipergunakan. Beberapa di antaranya yang pokok adalah:
  1. definisi kolusi; walaupun tidak secara tegas disebutkan, pengertian yang lebih lengkap dan jelas mengenai kolusi justru terdapat Pasal 3 ayat (1) butir f Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
  2. Definisi kekayaan penyelenggara negara; dalam ketentuan RUU tidak jelas apa saja yang dimaksud dengan kekayaan penyelenggara negara. Apakah termasuk kekayaan keluarga secara keseluruhan termasuk anak dan sanak saudara lannya, atau hanya kekayaan penyelenggara pribadi. Definisi tentang kekayaan pejabat negara sangat penting diuraikan dengan jelas, karena materi pokok pengaturan RUU adalah mengenai kekayaan penyelenggara negara.
  1. Tentang Tumpang Tindihnya Materi RUU dengan Materi Perundang-undangan Lain
Secara jelas dapat terlihat bahwa ketentuan ini banyak bertumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan kepegawaian dan undang-undang tentang tindak pidana korupsi.
  1. Tentang Kaedah-kaedah Normatif
  1. Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
Dalam RUU ini banyak terdapat ketentuan-ketentuan yang berbentuk norma hukum tunggal. Dimaksud dengan norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang hanya terdiri dari satu norma yang bersifat das sollen. Norma hukum tunggal terdapat terutama dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum tata negara. Norma hukum dalam ketentuan-ketentuan suatu peraturan perundang-undangan terutama di bidang perdata dan pidana dan juga administrasi negara dirumuskan dalam norma hukum yang berpasangan, yaitu suatu norma hukum yang terdiri dari dua norma, di mana norma yang pertama -sebagai satu kesatuan atau terpisah dilekati oleh norma kedua yang berisi akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam norma yang pertama. Ketentuan yang bermasalah tersebut di antaranya adalah:
  • asas-asas penyelenggara negara (Pasal 3)
  • ketentuan dalam (Pasal 6)
  • ketentuan dalam (Pasal 8)
  1. Kejelasan maksud dari norma hukum
RUU ini banyak memuat ketentuan yang tidak jelas maksud dan tujuan pengaturannya, misalnya:
  • ketentuan dalam Pasal 6
  • ketentuan dalam Pasal 7
B. Komentar Umum
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah diuraikan di atas, dan dikaitkan dengan hakekat dan tujuan dari dibentuknya RUU, maka dalam bagian ini akan dikemukakan komentar secara umum terhadap permasalahan-permasalahan dari RUU.
  1. Ditinjau dari ilmu perundang-undangan, materi dari pasal-pasal RUU ini masih banyak mengandung kekurangan mendasar, seperti; tercantumnya asas-asas dalam batang tubuh RUU; adanya beberapa pasal yang tidak jelas maksud dan tujuan dari materi muatannya; dan ketentuan sanksi yang tidak jelas.
  2. Pengaturan mengenai penyelenggara negara dalam RUU ini sebagian memiliki kemiripan materi substansi dengan peratuan perundang-undangan lain yaitu; UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan Keppres No. 33/1986 tentang Pelaporan Pajak Pribadi Bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD, dan BUMN.
Hal tersebut mencerminkan tidak adanya strategi yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka upaya pembentukan perangkat hukum tentang clean and good governance. Sehingga dikhawatirkan terjadi pengaturan yang tumpang tindih terhadap obyek pengaturan yang sama, yang pada gilirannya akan membingungkan aparat pelaksana dan penegak hukum dalam menerapkan kepastian hukum.

Pengantar Dalam Hubungan Internasional

1. 2.   Pengertian / Batasan dan istilah
Hukum Internasional yang dimaksud disini adalah Hukum Internasional Publik (International Publik Law).

1.2.a. Istilah HI
-
   Indonesia           :  Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar   
                                          Negara.
-   Inggris               :  International Law, common Law, Law of mankind, Law
                                          of Nation, Transnational Law (Inggris).
-  Perancis      :  Droit de gens
-  Belanda      :  Voelkenrecht.
-  Jerman       :  Woelkrrecht.
-  Romawi     :  Ius Gentium, Ius Inter Gentes.

1.2.b. Asal-usul istilah HI
Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja, mangatakan bahwa aneka ragam istilah Hi itu bermula dari. Hk. Romawi, yang dikenal denga ius gentium, yang berarti :
-   Hukum antar bangsa-bangsa Romawi.
-   Orang Romawi dan bukan orang Romawi
-   Orang bukan Romawi satu sama lainnya.
Baru kemudian, orang membedakan antara hubungan kesatuan-kesatuan publik (kerajaan dan republik) dengan hubungan antar individu, dengan ius inter gentes.
Dari istilah ius inter gentes kemudian lahirlah istilah Hk. Bangsa-bangsa,
Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar  Negara. Kemudian lahirlah istilah HukumI (publik) yang mejadi cabang ilmu Hukum yang berdiri sendiri.

1.2.b. Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar  Negara.

1.1.b. (1)  Persamaan
-   Semuannya bersumber pada hukum Romawi.
-   Persamaan landasan sosiologis : Masyarakat Internasional, Masyarakat bangsa-bangsa.
-   Persamaan subyek dan sumbernya   :  negara.

1.1.b (2)  Perbedaan.
-   perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan oleh setiap negara.
-   Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
-   Ius Gentium – Ius Inter Gentes --  Hk. Bangsa-bangsa,--Hk. Antar Bangsa -- Hk. Antar Negara.— HI.
-      Hukum bangsa –bangsa   : menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan raja-raja pada zaman dahulu.
-      Hukum Antar bangsa    :  menunjukkan     kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara yang kita kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation satte).
-      HI         : menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum, selain mengatur hubungan antara negara, menga

1.1..c.(3).   Perbedaan terletak pada skope hubungan yang diatur;
Hk. Bangsa-bangsa   : mengatue hubungan antar bangsa
Hk. Antar Negara      : mengatur hubungan anatar negara dengan negara (bangsa dalam bentuk negara)
Hk Internasional      :  mengatur  yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, antara subyek hokum bukan negara dengan negara, anatar subyek hokum bukan negara satu dengan yang lain.

5.   Sifat perkembangan / pertumbuhan HI dibandingkan istilah yang lain menunjukakan suatu perubahan yang radikal ke arah pembentukkan suatu hokum Internasional yang benar-benar universal.

Kenapa istilah Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan ini ?
Alasan :
a.   Istilah HI paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-malash yang menjadi obyek bidang hokum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar bangsa atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hk. Anatar bangsa dan hk. Anatar negara.
b.   Istilah HI dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalanagan para sarjana, karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-batas negara.
c.   Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).

1.2.   Pengertian dan batasan HI
1.2.1.  Pengertian menurut para sarjana

a.   Pandangan klasik   : “system Hk. yang mengatur  hubungan negara-negara.”
b.   Prof. Hyde       :  “sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lian.”
c.   J.L. Brierly       :  “ himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas tindakan yang mengikat bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama liannya.”
d.   Oppenheim      : “International law is the name of the body of customary and treaty rules which are of considered legally binding by states in their intercource which each other”.
e.   Max Rosense      :”International law is a strict term of art, connoting that system of law whose primary function it is to regulate the relation of stateswhic one another “.
e. G. Schwarzenberger   : “ International law is the body of legal rules binding upon sovereign state and such other en tities as have been granted International personality”.
f.  Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M.    : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
(1)   NEGARA dengan NEGARA;
(2)   NEGARA dengan SUBYEK HUKUM LAIN BUKAN NEGARA;
(3)   SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA satu dengan YANG LAIN.






1.2.2.  Pengertian HI Publik dan HI Perdata

HI Publik (HI)      : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional   : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”

1.2.2.a.  Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.

 1.2.2.b.  Perbedaan
•   Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
•   Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-perorang.
WHY ?
Alasan :
a.   Negara dapat saja menjadi sunyek Hperdata Internasional, dan perorangan dapat saja menjadi subyek HI.
b.   Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar dicari bats-batasnya.
c.   Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara; persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana  Konvensi Jenewa 1949).
d.   Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan dalam bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan persoalan perdata Internasional.
1.2.3.   Perwujudan Hukum Internasional


Perbedaan   HI UMUM   HI REGIONAL   HI KHUSUS
Pengertian   : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
(4)   NEGARA dengan 
         NEGARA;
(5)   NEGARA dengan SUBYEK HUKUM LAIN BUKAN NEGARA;
(6)   SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA satu dengan YANG LAIN.
   “ HI yang terbatas lingkungan berlakunnya atau HI yang berlaku hanya untuk region (bagian dunia tertentu) “.
   “HI yang hanya berlaku bagi negara-negara tertentu, yang tidak terbatas pada suatu bagian dunia (region tertentu)
Sifat / Persamaan HI Regional dan HI Khusus   HI Regional dan HI Khusus merupakan bagian dari HI Umum
Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan
Keduanya memberikan sumbanagn berharga bagi perkembangan HI umum
Keduanya dapat menyimpan HI Umum tapi tak boleg bertentangan
Keduanya merupakan pencerminan dari tingkat perkembangan bagian masyarakat yang berbeda.    Hubungan HI Regional dengan HI Umum boleh menyimpang tetapi tidak boleh bertentangan.


   Wilayah berlakunnya HI khusus lebih luas dari wilayah berlakunnya HI Regional
Contoh   - United Nation Organitation   1.   Konsep Landas Kontinen (Continental Shelf)
2.   Konep perlindungan Kekayaan Hayati Laut (Conservation of the living resources of the sea),
3.   Hukum International Eropa
4.   Hukum International Amerika Latin.   Konvensi Eropa mengenai Hak Azasi Manusia.
Perbedaan      -   Tumbuh melalui Hk. kebiasaan Internasional
-   Berlaku bagi region tertentu
   -   Tumbuh memalui konvensi (perjanjian internasional)
-   Berlaku bagi negara-negara tertentu yang tidak terbatas pada region


1.2.4.  Hukum Dunia (HD) Dan Hukum Internasional (HI)

1.2.4.(a).  Konsep Pembentukan
HI dan HD, keduanya menunjuk pada konsep mengenai tertib hokum masyarakat dunia, yang berlainan dan bertolak belakang.

1.2.4.(b)  Konsep Pembentukkan dan tertib hokum dari HI
-     Konsep Pembentukkan HI didasarkan pada:
“ adanya suatau masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara-negara yang berdaulta dan merdeka. Dalam arti masing-masing negara berdiri sendiri, hal mana yang satu tidak berada di bawah kekeuasaan yang lain.
-   HI meruapakan suatu tertib hokum Koordinasi antara anggota-anggota yang sederajat.

1.2.4.(c). Konsep HD dan tertib hokum HD
-   Konsep HD:  DUNIA MERUPAKAN SEMACAM NEGARA FEDERASI YANG MELIPUTI NEGARA DI DUNIA INI.
-   Tertib HD   : Hukum Subordinatif (heirarkis), negara dunia berdiri diatas negara nasional.

                                UUD  REPUBLIK INDONESIA 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. [1]
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

                                   PERIODISASI KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Periodisasi Berlakunya UUD di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ‘45, adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan UUD RIS atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal (RIS) menjadi negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan UUDS 1950.
Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, adalah suatu negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klik